Jumat, 04 Mei 2018

My Bus Stop #1


                Aku menulis ini disebuah kafe di toko buku, sendiri diantara dua bangku kosong disamping dan dihadapanku. Akhir-akhir ini aku berfikir banyak tentang diriku, seperti kebanyakan anak muda lainnya. Masa muda yang begitu menjanjikan ketidak pastian, sepanjang jalan yang berlubang dan sesekali jalan itu akan terhampar seolah tanpa celah namun sayangnya ia bercabang dan saat itu aku harus memilih.

                Aku menyukai rasa dingin yang menyelimutiku, aku menyukai suara air hujan yang bertabrakan dengan atap. Aku menyukai perasaan menuruni bukit dengan motorku, menyentuh permukaan air dengan jemariku. Seperti saat itu di sebuah curug kecil, aku menatap langit dari sebuah batu besar sembari berbaring, rasanya aku bebas. Sebuah dunia yang orang-orang dewasa ciptakan terkadang membuatku membenci diriku sendiri karena tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka.

                Hari ini aku berjalan dilorong SMAku, sembari mengenang masa putih abu-abu yang masih terasa jelas di pelupuk mataku “kau tau tidak? Dia sudah pergi ke eropa untuk menampilkan hobinya?”, “kau ingat dia? Yang dahulu terlihat begitu pendiam, sekarang dia berubah”, “wah takdir luar biasa, rasanya aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri”. Aku mengingat diriku berjalan di lorong itu, saat pemilihan ketua OSIS. Rasanya pandangan orang-orang menghujam jauh ke dalam diriku, saat itu aku bisa melihat banyak poster dukungan tapi tidak ada poster dukungan padaku. Lalu aku membuat sebuah tulisan dan berusaha membagikannya untuk dijadikan pin, orang-orang mulai menggunakan pin itu, sahabatku juga membagikan itu dihalaman facebooknya. Aku begitu bahagia, karena meski pin itu dariku, aku tau mereka dengan tulus mendukungku.

Rasanya baru kemarin, aku berjalan dengan salah satu calon ketua OSIS dan tiba-tiba kami mendengar namaku disebut sebagai ketua terpilih.

Setiap hari rasanya seperti memasuki lembar kesibukan lainnya, semua yang ku kejar hari ini akan berlalu disatu titik. Secara tulus aku mengatakan ini, tapi konsep yang berbeda selalu orang-orang buat tentangku. Pembicaraan-pembicaraan yang seolah mereka sembunyikan, tapi kata-kata itu tidak pernah benar-benar hilang dan suatu hari itu muncul dan aku mendengarnya, percayalah.

Aku teringat saat itu aku duduk dikelas 12, “Eh eh liat Rana gak?”, aku bermaksud menjahili laki-laki ini saat aku mendengar ia mencariku. Jadi aku bersembunyi dibalik pintu, “Rana yang mana?”, saat itu ada dua Rana di angkatanku. “Rana yang cantik lah, bukan yang satu lagi”... “Oh Rana di sana”, saat itu ia pergi kearah lorong IPS dan aku terdiam dibalik pintu. Terjebak dengan konsep aneh tentang kecantikan itu sendiri. Rasanya semua perasaanku bercampur aduk, namun seiring berjalannya waktu, aku semakin tidak peduli.

Setiap sebuah hari berakhir, aku akan terdiam di motorku. Memperhatikan jalanan malam dan enggan menengok ke spion. Bukannya aku takut ada apa-apa tapi aku tidak menyukai  perasaan seperti orang dibelakangku akan melakukan sesuatu yang jahat padaku jadi aku terburu-buru mengendarai motorku. Aku selalu suka perjalanan jauh dengan motor, jika kau menggandeng tanganku, mungkin kau fikir tanganku kasar karena pekerjaan rumah tapi sebenarnya mereka kasar karena aku sering sekali berjalan jauh dengan motorku. Melalui perjalanan aku bisa banyak berbicara dengan diriku, tentang ketidak puasanku, tentang rasa lelah yang menyergapku secara emosi, tentang betapa mendebarkan pertemuan dengannya hari ini, tentang hatiku yang berbunga-bunga, tentang ketakutan, tentang perasaanku dan yang paling menyenangkan, karena aku bisa berfikir tentang diriku.

Pernahkah kau mendengar? Tidak ada perubahan, itu lebih menakutkan dari perubahan. Aku menolak diriku berkata “aku memang orangnya seperti ini” karena aku fikir ketika aku berkata seperti itu, aku sedang menolak masukan untuk menjadi lebih baik lagi. Aku menyukai pembicaraan yang dalam dan kepedulian, aku mengingat ketika seseorang berusaha menghiburku ditengah perasaanku yang gundah dan air mataku yang tidak bisa ku hentikan. Saat itu aku merasakan ketulusan yang tidak pernah ku rasakan, ia memberikanku sebuah pemahaman dan memang itu tidak membuat keadaan jadi lebih baik tapi bagiku, ia membuatku tersenyum.

Setiap orang memiliki luka dan pertanyaan yang besar tentang dirinya dan kehidupan yang ia jalani. Jika hari ini hari terakhirku, maka seperti apa aku akan dikenang dan sebagai apa aku ingin dibicarakan. Hari-hari begitu gila menuntut kita untuk menjadi konsep sempurna dihadapan manusia, aku merasa terjerembab dalam konsep perencanaan manusia. Seperti lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak kemudian permintaan manusia terhadap ku akan terus bertambah. Lalu aku terjerembab dalam pemikiran aku tidak bisa melakukan lebih dari itu, aku seperti membuat batas untuk diriku sendiri.

Tempat dimana aku berada hari ini menawarkan kebahagiaan dan kesenangan yang luar biasa. Namun tempat ini menyimpan begitu banyak cerita pahit, kenyataan yang tidak bisa diterima, rahasia yang tak ingin kau dengarkan. Aku mencoba sedikit demi sedikit memahami bahwa setiap orang hidup dengan luka yang tak bisa ia jabarkan. Namun mereka tetap hidup dengan pedang yang menembus dirinya, sesekali luka itu akan teringat dan terasa sakit. Mereka tetap bekerja berusaha menghiraukan sakitnya luka itu.

 Aku yang hari ini adalah penolakan dari diriku, seperti aku menolak tidak maju ke depan untuk tampil karena jika aku menolak tampil maka aku seperti sedang menolak kesempatan untuk didengar. Aku menolak untuk drop out dari program studi ku, aku menolak untuk menyerah, aku menolak banyak hal.

Hujan ini rasanya belum akan berhenti karena aku masih melihat kilatan cahaya di kaca. Dalam kesendirian ini aku sedang berbicara padamu, kita masih terlalu muda untuk berfikir bagaimana rasanya menjadi tua. Tapi jika aku boleh jujur, aku selalu memikirkan itu. Suatu hari nanti cerita antara kau dan aku akan menjadi kenangan yang bisa ku ceritakan pada anakku, cucuku. Dan jika saat itu tiba, akan seperti apa aku?. Aku pernah bilang aku ingin dimakamkan dimakan pahlawan, bukan karena aku ingin diakui tapi karena aku ingin hidup sekeras itu. Aku sangat keras pada diriku sendiri.

Aku pernah ada diantara mereka yang antara ada dan tiada di tengah keramaian, aku tidak pernah benar-benar memahami mereka tapi sejujurnya aku merindukan mereka. Kau tidak akan memahami itu, setiap orang memiliki alasan yang berbeda dan bukan hak kita berkata kehidupan mereka buruk dan pilihan mereka buruk. Berhentilah menjadi Tuhan.

Ketika mereka berkata, kita harus melupakan diri kita yang dulu. Aku fikir itu bukan hal yang bijaksana. Diri kita yang sangat tidak mampu, rapuh, penuh kekurangan dan diri kita yang mengecewakan itu adalah semua yang membentuk kita menjadi hari ini. Semua yang terjadi tidak bisa kita salahkan, bentuk-bentuk kekecewaan itu seharusnya dikenang sebagai pelajaran dan bagian yang berharga dalam hidup kita. Karena jika kita tidak pernah bersedih, tidak pernah kecewa dan merasa diri kita kurang. Kita tidak akan pernah belajar bukan?

Aku mencintai diriku dan membenci diriku. Sepertinya itu semua datang dengan natural, terkadang kau terheran-heran mengapa bisa mengulang kebodohan yang sama. Mengapa kau tidak bisa berbuat lebih, kenapa kau tidak bisa merubah dirimu. Lalu orang-orang mulai berbicara “dari dulu memang dia seperti itu”, seolah tidak memberikan kesempatan untuk kehadiran dirimu yang baru. Aku akan menjelaskannya perlahan, tidak ada yang lebih berhak untuk dicintai selain dirimu, kau menyimpan rahasiamu sendiri yang mereka tidak pernah mengetahui itu semua. Tapi kau berhak untuk jadi lebih baik dan hidup sebagai orang yang lebih dari hari ini.

Keinginan terbesarku, memberikan dampak besar bagi kehidupan orang lain dan meninggalkan nama “Rana” menjadi sebuah nama yang beruntung. Jika bisa aku melihat kedalam diriku disaat aku memutuskan hal-hal besar yang terdengar tidak mungkin. Aku akan benar-benar memeluknya, kau telah mengambil keputusan yang baik. Meski terkadang aku tidak menyukaimu, meski aku sering memarahimu dan kecewa padamu. Kau membuktikan padaku, kau belajar dan mengingat itu semua dengan baik.

Jadi diakhir hari ini,
                Tepuklah pundakmu,
                                Dan ucapkan hal-hal baik pada dirimu.

Kenapa kau masih begitu ceroboh?
                Karena kita masih memiliki ruang-ruang kosong untuk dipelajari.

Kenapa aku tidak sesukses orang-orang seusiaku?
Karena perbedaan waktu dalam kesuksesan tidak mendefinisikan kesuksesan itu sendiri. Seperti perbedaan waktu new york dan jakarta tidak mendefinisikan kesuksesan keduanya. Mereka memiliki timing dan cerita yang berbeda.

                Kenapa ini harus terjadi?
                                Karena kau tidak bisa menghindarinya, kau hanya bisa mempelajarinya.

        Tulisan ini
                     bukan keluhan, 
                                                Tapi ku tulia karena aku semakin sering melihat orang terluka karena                                                      dirinya sendiri.

                Dirimu bukan satu-satunya, berhentilah mengeluh dan mengharapkan orang lain untuk membangun kebahagiaan untuk dirimu. Berhentilah mencari seseorang hanya karena kita tidak tahan dengan kesendirian. Berhentilah membenci dirimu, berhentilah menjadi Tuhan untuk kehidupan orang lain. Sesulit apapun, ini akan berakhir dan kau akan tetap hidup selama masih ada kesempatan. Jangan membatasi dirimu dengan dirimu sendiri dan persepsi orang lain. Jangan meletakkan kebahagiaan di tangan siapapun, jangan kehilangan dirimu. Mereka yang mencintaimu, bersedia tumbuh bersamamu.

Life After Collage #1 : Rasanya kerja 6 tahun

Hai! lamaa juga gak nulis.  Aku lagi balik ke sawangan dan hujan super lebat, jadi gue neduh dulu di salah satu coffee shop yang mungkin 15 ...