Senin, 27 Juni 2016

SEBUAH SUDUT YANG MEMANDANG


            Dua tahun belakangan ini sepertinya terlalu banyak hal yang terjadi, sehingga kurang lebih aku kesulitan menjelaskan padamu apa saja yang terjadi. Hari ini hujan turun begitu derasnya, butiran-butiran bening titik air hujan jatuh membasahi tanah kering pertiwi yang belakangan tidak diguyur hujan. Aku berbaring menatap langit-langit kamar ku yang sesekali bercahaya karena kilat, dini hari yang sunyi. Tanganku merengkuh guling yang ada tepat disampingku, aku mencoba menelusuri alur dinding kamar dengan telunjuk jariku. Rasa resah yang berkecamuk membuat mataku enggan dibuai kantuk.

            Aku mencintai kebebasan, kebebasan yang berbatas maksudku. Aku tidak suka dibatasi manusia tapi aku suka dibatasi Tuhan, jelas karena Dia mencintaiku. Aku bergumam mengikuti nada manapun yang ku mau, prasangka orang telah menenggelamkanku dalam jurang kebimbangan beberapa bulan terakhir. Aku telah menunda impian besar yang ku miliki, menyedihkan. Namun penundaan itu bukan tanpa sebab, jika ku ceritakan padamu mungkin kau tidak akan mengerti. Sesekali layar hp ku menyala, ku lihat beberapa orang mengirim pesan padaku. Sekumpulan pertanyaan menggantung dalam benakku, menyenangkan kah membuat orang kebingungan? Sungguh aku tidak habis pikir.

            Hmmm.. akhir-akhir ini aku sedang mempelajari seni menahan, tau kah dirimu tentang seni menahan?. Hal yang menggelitik saat aku harus mengikuti segala yang dibuat untukku hanya karena itu baik untuk orang lain, lalu untukku? Itu adalah sebuah ujian, aku sangat ingin tertawa. Jangan beralasan kau melakukan itu untuk diriku, akuilah bahwa kau melakukannya utuk dirimu juga. Berada dalam dua dinding yang menghimpit membuat aku sulit berfikir, keputusanku untuk mengikutimu sungguh bukan karena aku tau itu baik untukku. Aku sedang menggunakan kartu terakhir, kesempatan terakhir..

            Pernah ku baca sebuah kalimat dalam sebuah cerita fiksi, “Terkadang berani bukan berarti menghilangkan rasa takut, hanya saja berani adalah keputusan untuk menghadapi ketakutanmu”. Yang ku sukai dari memiliki waktu untuk diriku sendiri adalah aku bebas berfikir, tidak dibatasi pemikiran orang lain. Sejujurnya saat memutuskan untuk menjalani ini, aku paham betul aku ketakutan dan aku merasa belum siap. Jika ini boleh ku sebut sebagai sebuah tantangan yang besar dan membuatku gentar, maka izinkan aku menyebutnya begitu. Karena aku tidak berencana untuk menjadi biasa, seperti yang kau perkirakan. Aku telah mengorbankan sebuah impian besar beserta zona nyaman yang membuatku bebas melakukan pergerakan, belajar dan mengeksplorasi kemampuanku. Aku telah menangguhkan sebuah mimpi, untuk kepentingan orang banyak.

            Perlahan dini hari mulai merangkak, aku mendengar sayup-sayup seruan dari masjid-masjid didekat rumahku. Membangunkan orang-orang dari dekapan tidur, mendesak mereka untuk memulai hari dengan sahur. Ku ubah posisi tidurku, kini aku menatap pintu kamar ku yang berwarna coklat dan terbuat dari kayu, meski tertutup aku bisa melihat cahaya dari ruang tamu berhasil menyelusup diantara celah pintu.  Aku bisa melihat diriku kerap melewati pintu itu, dari mulai saat aku mengemban amanah saat aku masih duduk di bangku SMA. Berkali-kali ku lewati pintu dengan perasaan berkecamuk yang tak dapat ku gambarkan. Sebuah pintu yang menjadi batas antara aku dan dunia luar, pintu yang menjadi batas antara aku yang kau lihat dengan aku yang bersembunyi.

            Pikiranku mulai meraba-raba saat dimana aku didorong untuk naik, dan disaat yang sama aku ditinggalkan. Bukannya aku tidak meminta orang-orang untuk tetap tinggal, hanya saja mereka yang memutuskan untuk pergi. Kini hal yang sama terulang kembali, aku harus memutuskan tetap tinggal karena aku rasa aku tidak sanggup  untuk meninggalkan seseorang bergumul dalam jalan juang yang berbatu dan gelap sendirian. Aku pernah ada dijalan itu dan aku pernah berada diposisi dia, mungkin dahulu aku ditinggalkan agar aku mengerti bahwa aku tidak seharusnya meninggalkan. Hatiku telah menerima keputusanku, tapi aku tidak yakin akalku menerimanya. Tapi aku benar-benar tidak punya jalan keluar, yang bisa aku lakukan kini hanya menjalani segalanya tanpa banyak bertanya.

            Masa lalu selalu menarik untuk diingat, karena masa lalu aku ada disini menjadi aku yang kau tau. Telah banyak hal-hal yang tak pernah terlintas dalam bayanganku terjadi begitu saja. Namun aku tidak mempertanyakan mengapa hal itu harus terjadi padaku, kenapa aku, setidaknya aku yang sekarang enggan mempertanyakan itu. Seorang teman pernah berkata padaku, ketika ia menghadapi suatu masalah yang berat ia akan buru-buru menjadi tempat yang lapang untuk berbaring dan memandang jauh ke langit. Ia berkata, “Langit luas, tinggi dan begitu besar... masalahku tidak seluas, setinggi dan sebesar langit.. pasti aku bisa menyelesaikannya”

            Permasalahan membuat kita sadar, kita masih punya celah yang harus ditambal. Rintangan membuat kita sadar, Tuhan selalu punya cara agar kita menjadi lebih dari kita yang dahulu. 

            Belum lama ini aku berbuka puasa hanya berdua dengan seseorang yang sangat menghargai keberadaanku dan aku pun menghargai keberadaannya. Kami berbuka di Masjid pinggir jalan, sebuah pengalaman baru baginya. Ia berkata padaku “sebenarnya setahun belakangan aku pun menahan impianku, menangguhkannya dengan alasan tidak lain karena aku merasa tidak bisa pergi begitu saja melepas tanggung jawabku atas tempat ini. Dan benar saja, Tuhan kini melancarkan impian yang ku tangguhkan dan bahkan jika boleh aku menambahkan... Ia memberiku lebih dari yang ku mau dulu”

            Jelas aku bukan manusia yang sempurna, Tuhan berbaik hati menutup kekuranganku. Pada akhirnya kita manusia memang hanya bisa menerima, toh rencana dan skenario terbaik sebenarnya sudah tersedia. Hanya saja manusia selalu merasa pandai mengira-ngira dan menerka-nerka. Kita selalu punya pilihan untuk berfikir buruk tentang apa yang terjadi hari ini, saat ini. Namun terkadang kita lupa, kita juga punya pilihan untuk berfikir baik tentang apapun yang sedang terjadi kini.


 Aku belajar bahwa Tuhan selalu punya cara paling romantis untuk mengabulkan setiap impian dan doa-doa dari manusia yang setiap malam terlempar dari berbagai arah di penjuru bumi. Aku meragukan diriku dan mungkin orang-orang yang ku kenal, tapi aku tidak meragukan rencana-Nya. Karena itu aku memutuskan untuk percaya pada diriku, kepada banyak orang dan menjalani hari ini serta hari yang akan datang. Sesuatu yang membahagiakan telah disediakan untukku, sebuah keberhasilan akan pencapaian, kebanggan dan kebaikan. Namun jalan menuju tempat itu bukanlah jalan yang mudah, tantangan besar dan aral yang melintang mungkin menghadang. Jika saat itu tiba, satu-satu nya hal yang bisa ku lakukan mungkin hanya menjalaninya dan percaya bahwa ini pasti akan berlalu. 

Dari sekian banyak hal yang aku terus pertanyakan dalam hidupku, beberapa diantaranya telah terjawab. Tentang tempat aku berada dimasa lalu, masa kini dan harapanku dimasa yang akan datang. Jawaban yang diberikan oleh Allah selama ini membuat auyakin, kehidupan tidak menawarkan jalanan yang mulus dan selalu indah. Namun kehidupan memberikan jalan yang memang pantas untuk kita jalani.. sebuah jalan yang membuat kita berkembang, membuat kita lebih berarti untuk lingkungan sekitar.

Semua tentang bagaimana cara kita memandang suatu jalan yang diberikan pada kita. Pada dasarnya Allah itu gak selalu memberikan apa yang kita inginkan... kita sebagai manusia belum tau apa akhir yang akan diberikan untuk kita. Suatu kesulitan, rasa sedih dan hal-hal yang tidak kita rencanakan juga anugerah dari Allah, sesuatu yang patut disyukuri dan dijalani.

Dan jika boleh aku menekankan suatu hal... Semua tentang cara kita memandang, semua tentang dari sudut mana kita memandang. Hidup ini sungguh indah bila kita memandang dari sudut yang indah.


Life After Collage #1 : Rasanya kerja 6 tahun

Hai! lamaa juga gak nulis.  Aku lagi balik ke sawangan dan hujan super lebat, jadi gue neduh dulu di salah satu coffee shop yang mungkin 15 ...